Tiga puluh menit babak pertama selesai, skor masih 0-0. Di pinggir lapangan, Pelatih Kepala Papua Football Academy (PFA), Ardiles Rumbiak memberi arahan ke anak asuhnya.
Masuk babak kedua, Tim A PFA mengungguli Tim SSB Timika Putra, skor akhir 2-1. Pada pertandingan kedua, Tim B PFA juga menang 5-0 tanpa balas.
Menurut Ardiles, anak asuhnya sudah bermain sesuai instruksi pelatih pada dua pertandingan itu. “Mereka bisa menjalankan instruksi dengan baik seperti yang kita bangun di Papua Football Academy, lebih ke penguasaan bola, progresif untuk mencetak gol,” katanya.
Pertandingan di lapangan Mimika Sport Complex (MSC), Sabtu (25/3/2023) sore itu adalah laga uji coba pertama siswa PFA usai tur ke Pulau Jawa selama sebulan.
PFA bermarkas di MSC. Sebuah kompleks olahraga dilengkapi asrama yang dibangun oleh PT Freeport Indonesia (PTFI). Di MSC inilah, 30 siswa PFA ditempa jadi pesepak bola profesional.
Siswa PFA adalah hasil pencarian bakat di tiga kota, Jayapura, Merauke dan Timika. Rata-rata kelahiran tahun 2009. Mereka dapat kesempatan belajar selama dua tahun di PFA.
Bagi Direktur PFA Wolfgang Pikal, akademi ini adalah pembuka pintu. Kehadiran PFA membuka kesempatan bagi anak-anak Papua mengejar mimpi jadi pesepak bola profesional.
“Kita buka pintu anak Papua untuk step lanjut ke elite pro academy. Sudah ada beberapa elite pro academy tertarik dengan anak-anak kita,” katanya.
Sepak bola dan Papua memang tak terpisahkan. Di Papua, sepak bola jadi olahraga paling populer.
Menurut Wolfgang, perihal bakat, teknik dan kecepatan, anak-anak Papua sudah tak diragukan. Soalnya ada pada karakter dan life style. Dalam sepak bola katanya, life style sama pentingnya dengan bakat.
“Bakat di Papua bagus-bagus. Teknik oke, speed oke. Cuma disiplin hidup seperti atlet itu yang kita harus masukkan di PFA. Supaya mereka bukan cuma teknik taktik bagus tapi juga harus bisa hidup sebagai atlet top. Itu yang penting,” kata Wolfgang.
Sebab itu di PFA, tak melulu latihan sepak bola. Porsi latihan sama dengan porsi pendidikan formal. Manajemen PFA bekerja sama dengan guru Sentra Pendidikan Mimika memastikan siswa tak ketinggalan pelajaran.
Berpola asrama, lima pelatih PFA juga punya waktu lebih banyak dengan siswa. Keterampilan hidup dan pembentukan karakter diajarkan dan dipraktikkan dalam keseharian siswa di asrama.
Catatan lain yang membuat PFA bukan sekolah sepak bola biasa adalah programnya yang bernama PFA Child Safeguarding. Diadopsi dari program FIFA Guardian. Program ini menciptakan lingkungan sepak bola ramah anak, melindungi dan mencegah anak dari berbagai risiko.
Keberhasilan program masa depan seperti PFA tentu tak bisa diukur dalam tempo singkat. Hasilnya baru akan kelihatan 8 atau 10 tahun nanti. Tapi bagi Wolfgang, beberapa siswa PFA masuk ke elite pro academy saja sudah menunjukkan progress yang bagus.
Dan sejujurnya tak ada jaminan, belajar selama dua tahun di akademi yang didukung penuh PTFI ini akan menjadikan 30 siswanya jadi pesepak bola profesional. Keberhasilannya ada pada karakter mereka yang pernah belajar di PFA.
“Kita punya anak jadi manusia baik, produktif di komunitas mereka sebagai apapun. Ini juga sukses. Karakter di sini penting supaya jadi manusia sukses di komunitas mereka. Mungkin ada jadi guru jadi engineer, itu sama-sama penting,” kata pria yang lahir di Austria ini.
(Ditulis oleh Burhan, pemenang PFA Writing Competition di Papua60detik)